Semuanya baik-baik saja tadi pagi,
kemarin dan kemarinnya lagi. Sudah berulang kali kucoba mengulangi apa
saja yang telah kulakukan beberapa hari terakhir ini, bahkan
minggu-minggu terakhir ini. Tapi tetap saja aku tak menemukan sesuatu
yang salah yang telah kulakukan. Walaupun tak percaya, aku harus
menerima keputusan Nyonya, majikan perempuanku.
Aku ingin sekali, ingin sekali tahu
alasan Nyonya mengambil keputusan itu. Namun, Nyonya hanya diam tak
bergeming. Hanya satu kalimat yang keluar dari bibirnya. “Maaf mbak,
tapi kami sudah tak membutuhkan tenaga pengasuh lagi di rumah ini.”
Dan aku terpaksa menerimanya. Meskipun
airmataku mengalir tanpa kusadari, menyadari bahwa kehilangan pekerjaan
ini tak sekedar membalik panci makan keluargaku tapi juga membuatku
takkan punya kesempatan lagi bersama Nick, anak majikanku. Putra
tunggal Nyonya yang kuasuh sejak dia berusia empat tahun. Padahal
sebentar lagi Nick akan berulang tahun ke delapan. Empat tahun bersama
Nick, sudah membangun cinta kasih di antara kami. Aku bahkan
menganggapnya sebagai adikku sendiri.
“Mbak, Nick boleh ikut sama mbak?”
terdengar suara Nick di ambang pintu. Aku tak berani menoleh karena
saat itu airmataku deras mengalir di kedua pipiku. Dengan cepat kuhapus
airmataku, sebelum berusaha tersenyum dan menoleh padanya.
Nick mendekatiku, memelukku dan bahunya
berguncang karena menangis. Kali ini aku tak bisa menyembunyikan
kesedihanku lagi, aku juga menangis di bahunya. Maafkan aku, Nick.
Maafkan mbak.
Kulepaskan pelukan Nick perlahan-lahan
setelah aku mulai bisa menguasai emosiku sendiri. Perlahan, kuhapus
airmatanya dengan lembut. “Adikku sayang, rumah Nick di sini. Nick
harus tetap tinggal di sini. Nick sudah besar, Nick sudah tak
memerlukan mbak lagi.” Aku berhenti sebentar, mengambil nafas agar tak
menangis lagi. “Nick mau Mami perhatian sama Nick kan? Nah, kalau ada
mbak nanti Mami gak bisa nunjukin kalau Mami Nick sayang banget sama
Nick. Sekarang tugas mbak diganti oleh Mami.”
Nick terdiam. Dia mungkin berusaha
keras mencerna kalimatku. Mungkin juga dia tak memahami maksudku, namun
aku berharap suatu hari dia bisa memaafkanku karena telah
meninggalkannya.
Aku memeluk Nick, lebih kencang dan lama sebelum
melepaskannya dengan senyum lebar. Tapi sungguh sangat pahit rasanya
tersenyum seperti itu karena aku harus berusaha keras menahan tangis.
Aku membawa kedua tas pakaianku keluar
diikuti Nick yang melangkah lesu, meletakkannya di dekat pintu keluar.
Mbok Ipah, pembantu rumah tangga sekaligus sahabatku di rumah ini
menatapku sedih, juga terlihat berat melepas kepergianku. Aku berusaha
tersenyum padanya. “Nyonya mana, mbok?” tanyaku.
“Masih di dalam, mbak,” jawab Mbok Ipah
lirih.
Lalu aku berjongkok, menatap Nick.
“Nick sama mbok dulu sebentar ya. Mbak mau pamit sama Mami.” Dan pemuda
kecil itu mengangguk patuh.
Aku tak tahu harus berkata apa pada
Nyonya. Empat tahun lalu aku datang ke rumah sebagai seorang gadis yang
baru lulus smp. Nyonya memintaku mengasuh putranya. Nick yang kukenal
saat itu adalah anak yang egois, cengeng, bandel dan suka sekali
memukul. Menurut mbok Ipah, sudah ada beberapa pengasuh sebelum aku
yang akhirnya menyerah mengurus Nick.
Tapi aku berbeda. Setiap hari di rumah
aku harus menghadapi dan mengurus empat orang adik laki-lakiku karena
Ayah dan Ibu harus bekerja. Aku sudah terbiasa mengurus mereka sejak
aku masih kecil. Ketika akhirnya tiba giliranku membantu keuangan
keluarga, keempat adikku sudah mandiri semua. Karena itulah Nyonya
menerimaku bekerja di rumahnya.
Sayang, Nick berbeda dengan keempat
adikku. Tak seperti kami yang menerima curahan kasih sayang setiap
malam saat orangtua kami pulang, Nick jarang sekali mendapatkan kasih
sayang yang sama dari kedua orangtuanya sendiri. Papinya pergi kerja
saat Nick baru selesai sarapan dan pulang ketika Nick sudah tertidur.
Maminya yang memiliki butik sendiri, hampir tak pernah lepas dari
telepon pintarnya dan jarang sekali mau membiarkan putranya mengotori
pakaiannya yang indah dan mahal. Karena itulah, aku harus putar otak
mencari cara agar Nick bisa “berkomunikasi” dengan orangtuanya.
Aku masuk ke dalam kamar Nick, untuk
yang terakhir kalinya kuedarkan pandangan ke seantero kamar itu.
Berbagai mainan aneka jenis dan mahal memenuhi sudut-sudut kamar,
sepatu-sepatu berbeda corak dan warna berjejer rapi dengan setumpuk
buku dan boneka di lemari. Aku membuka lemari pakaian besar Nick,
tumpukan baju kaos, celana dan jejeran jaket serta kemeja mahal Nick
tersusun rapi di dalam lemari itu. Aku membuka laci kecil dalam lemari
besar itu dan mengambil sebuah buku tebal. Buku diary milik Nick.
Buku itu berisi setiap keinginan dan
perasaan Nick. Setiap kali Nick ingin bercerita tentang kegiatannya di
sekolah, apa yang sedang ia inginkan ataupun apa yang ingin
dilakukannya bahkan perasaannya tentang kedua orangtuanya. Aku meminta
Nick menuliskan semuanya sejak setahun terakhir. Nick suka sekali buku
itu karena itu tak sampai enam bulan, hampir separuh buku itu sudah
terisi. Aku berhasil mengendalikan emosi Nick yang mudah meluap karena
setiap kali dia marah, aku selalu memintanya menuliskannya di situ.
Beberapa hari terakhir sebelum aku diberhentikan, Nick menuliskan
keinginannya untuk kedua orangtuanya dan aku berharap keduanya mau
mewujudkan keinginan Nick itu. Keinginan untuk jalan-jalan bersama,
menghabiskan waktu sebagai anak dan orangtua. Sederhana sekali.
Dengan menenteng buku itu aku menuju
ruang kerja Nyonya. Pelan kuketuk pintu itu sebelum membukanya. Nyonya
nampak termenung di kursi kerjanya. Aku mendekati Nyonya.
“Sudah? Sudah pamitan dengan Nick?”
tanya Nyonya. Aku mengangguk.
“Terima kasih sudah mengasuh Nick
selama ini. Dan ini… ” Nyonya menyodorkan sebuah amplop padaku. “Ini
gajimu dan saya juga sudah menambah sedikit sebagai rasa terima kasih
kami.”
Kembali aku mengangguk dan mengambil
amplop itu. “Saya juga terima kasih sama Nyonya dan Tuan. Saya mohon
maaf kalau saya punya salah sama Nyonya atau Tuan.” Lalu aku menunduk
menatap diari yang kupeluk dengan ragu sebelum aku meletakkannya di
atas meja. “Dan ini, Nya. Ini seharusnya jadi kado pernikahan Nyonya
dan Tuan bulan depan dari Nick. Tapi karena saya takut Nick lupa maka
saya kasih sekarang saja. Semoga Nyonya berkenan untuk membacanya. Ini
semua Nick yang menulis dan membuatnya sendiri. Untuk Nyonya dan Tuan.”
Nyonya menatap diari itu, lama sekali
tanpa mengambilnya. Aku menghela nafas. Aku sudah mencoba sampai titik
terakhir agar bisa membuat Nick bahagia. Sekarang semua berpulang pada
keputusan kedua majikanku sendiri dan tugasku sudah selesai. Suka atau
tidak suka, aku harus segera pergi dan aku harus rela mengembalikan
Nick pada orangtuanya. Aku mengangguk hormat sebelum keluar
meninggalkan ruangan itu.
Tangis Nick terdengar hingga aku
menaiki bajaj. Untunglah karena suara bajaj yang bising, maka suara
isakanku tak terdengar. Aku terus menangis hingga tiba di rumahku. Ayah
dan Ibu yang tak bekerja di hari minggu itu, hanya bisa mengelus
pundakku saat aku memeluk mereka. Dengan kata-kata bijak, mereka
memintaku memanfaatkan dengan baik gaji terakhir dan tambahan bonus
dari Nyonya.
Beberapa minggu kemudian, aku baru
pulang dari pasar. Sejak berhenti bekerja, aku menyewa sebuah kios di
pasar dari hasil tabungan dan gaji terakhirku. Aku bersyukur karena
kios itu akhirnya membuat Ayah dan Ibu bisa berhenti bekerja sebagai
tukang pemulung keliling dan tukang cuci. Kehidupan kami jauh lebih
baik setelah kios itu berhasil menghidupi kami sekeluarga.
Tapi tak seperti biasa, rumahku
terlihat ramai. Adik-adikku tampak asyik mencobai pakaian-pakaian dan
sepatu baru, bahkan Ayah dan Ibu juga terlihat sama sibuknya. Ketika
melihat aku yang berdiri bengong melihat tingkah mereka, salah satu
adikku memberitahu dengan gembira. “Tadi Tuan, Nyonya dan Nick datang,
kak. Mereka membawa semua ini buat kita. Nah itu buat kakak di tas itu
tuh.”
Aku terkesima mendengar kata-kata itu.
Lalu setengah berlari aku langsung mengambil dan melihat isi tas itu.
Sebuah pakaian panjang dengan sepatu yang bagus sekali di dalamnya.
Kukeluarkan dengan tak sabar, dan sebuah amplop putih jatuh di kakiku.
Dengan cepat kubuka amplop itu.
Terima kasih karena memberikan saya hadiah pernikahan terbaik sepanjang hidup saya, mbak Santi. Terima kasih karena sudah mengembalikan anak kami.
Airmataku mengalir lagi. Bukan
kesedihan, tapi keharuan. Kupeluk surat itu di dadaku dan mengangguk
bahagia. Terima kasih, terima kasih Nyonya. Aku ikhlas mengembalikan
anak Nyonya agar dia mendapat kasih sayang yang sesungguhnya, kasih
sayang orangtuanya.
*****
Jadi kepikiran deh, kalau kelak gw punya anak, apa gw tetap bekerja dan memasrahkan pengasuhan anak gw sama nanny ato gw nya ga kerja dan mengasuh anak gw???
hihi..
BalasHapusjadi ibu rumah tangga aja mba. hahahaaaa..
tapi pengen yang meng'hasil'kan. apa jadi ibu rumah tangga sekaligus pemilik beberapa SPBU yah? *mimpi*
Hapus